JAMBI – Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Jambi bergerak agresif di tahun 2019. Jumlah aset, penyaluran kredit, dan dana pihak ketiga yang dihimpun 19 BPR di daerah ini bisa tumbuh dua digit dibanding tahun 2019. Walau begitu, ada kekhawatiran soal nasib BPR di masa yang akan datang.
BPR relatif stagnan dalam penggunaan teknologi. Proses penghimpunan dana dan penyaluran kredit ralatif sama dari tahun ke tahun. Di sisi lain, bank umum dan fintech pear to pear (P to P) landing yang jadi saingannya, kini makin bergelimang teknologi canggih.
“Untuk saat ini memang kita masih bisa eksis, dan masih agresif bila melihat catatan hasil tahun lalu. Kita tambuh. Tapi kalau tak segera bertransformasi, lima tahun lagi BPR bisa tergilas. Itu kekhawatiran kami,” kata Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Jambi, PH Manik, Jumat (24/1) sore.
Kinerja BPR di Jambi tahun 2019 memang sangat bagus. Secara total, aset tumbuh 15 persen, penyaluran kredit tumbuh 12,5 persen, dan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun tumbuh 12 persen. Total aset BPR di Jambi telah mencapai Rp 1 trilun. Sementara DPK dihimpun mencapai Rp 750 miliar, dan jumlah kredit disalurkan Rp 780 miliar. “BPR agresif,” katanya.
Sementara terkait kekhawatiran disampaikan, adalah terkait dengan lebih agresifnya fintech P to P landing dan bank umum. Ia menyebut segmen pasar yang selama ini digarap BPR telah turun digarap bank umum. Fintech sebagai pemain baru, juga mengarap segmen yang sama.
“Bank umum menyalurkan KUR dengan bunga 6 persen yang menyasar segmen usaha kecil. Itu bagian dari segmen pasar kami yang digarap bank umum. Fintech hadir lagi, menggunakan teknologi yang sangat canggih, juga menggarap pasar yang digarap BPR,” tuturnya.
Bank umum saat ini menggeber penyaluran kredit usaha rakyat dengan tingkat suku bunga 6 persen. Di sisi lain, BPR menggarap pasar yang sama dengan tingkat suku bunga kisaran 14-17 persen per tahun. Namun tingkat suku bunga kredit BPR bisa bersaing dengan fintech, sebab suku bunga fintech kisaran 1,5-2,5 persen per bulan, atau setara 18-30 persen per tahun.
Namun keunggulan fintech adalah dari sisi teknologi. Calon debitur dengan kreditur tak perlu harus tatap muka, tak perlu ada tim survei ke rumah, tak perlu juga ada agunan, seperti proses yang harus dilakukan di BPR dan bank umum. Semuanya cukup dengan modah handphone, data akan langsung diproses oleh fintech, lalu dana cair dalam waktu sangat singkat.
“Di fintech bisa 10 menit cair, kalau di BPR rata-rata kreditnya cair setelah 10 hari, memang bisa juga tak sampai segitu lama. Mengapa bisa begitu? Karena BPR sampai kini menerapkan prinsip kehati-hatian, sesuai dengan regulasi. Kami tidak bisa seperti fintech,” ungkapnya. Ia menyebut regulasi yang dikeluarkan untuk BPR memang begitu adanya, prosesnya panjang.
Ia mengatakan, proses permohonan kredit dimulai dengan pengisian formulir permohonan, lalu akan disurvei BPR, lalu pemeriksaan agunan, dan proses lainnya. Selain memakan waktu, biaya yang dikeluarkan nasabah juga tak sedikit, karena ada biaya notaris, biaya provisi, dan lainnya.(*)